UNPI-CIANJUR.AC.ID - Ekosistem Indonesia belum sepenuhnya siap untuk mengadopsi teknologi 5G, menurut Basuki Yusuf Iskandar, Kepala Riset dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Alasannya, pengguna internet Indonesia masih konsumtif ketimbang produktif. Padahal biaya pergantian teknologi (switching cost) tak sedikit. Sehingga, penerapan teknologi ini dikhawatirkan tak berdampak terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Basuki, seperti dilansir CNNIndonesia.com, mengatakan, "Masyarakat tidak bisa gunakan secara produktif. Cuma cari seneng-nya aja, yang gampang-gampang itu aja, kan sayang. Padahal potensinya besar. Itu karena kita lengah dalam edukasi publik."
Dengan edukasi yang benar, harapannya penerapan teknologi baru bisa memberi dampak yang signifikan bagi industri dan masyarakat. "Social development itu paling penting, karena the man behind the gun itu penting," tambahnya.
Dampak signifikan yang dimaksud terkait dengan peningkatan nilai ekonomi. Sebab, penerapan 5G di dunia diperkirakan bisa menghasilan pendapatan hingga US$ 3,5 triliun (Rp46,7 quadriliun) dan membuka 22 juta lapangan pekerjaan pada 2035.
Implementasi 5G juga disebut memungkinkan terciptanya distribusi barang dan jasa berskala global yang bernilai hingga US$12,3 triliun (Rp164,3 quadriliun) di tahun yang sama. Namun, peningkatan ekonomi ini hanya bisa memberi dampak ke dalam negeri, jika masyarakat bisa memanfaatkan teknologi 5G untuk kegiatan produktif.
Angka-angka tersebut merupakan hasil studi 'The 5G Economy' yang dilakukan oleh Qualcomm dan Research Group (BRG).
Pada kesimpulannya, Basuki mengatakan bahwa pemerintah mengakui potensi besar adopsi 5G di masa depan. Namun, teknologi ini masih meninggalkan pekerjaan rumah yang problematis bagi pemerintah. Tak cuma soal edukasi masyarakat, tapi juga terkait masalah teknis seperti digital service, alokasi spektrum, big data, numbering dan lain sebagainya.