UNPI-CIANJUR.AC.ID - Penangkapan sindikat penyebar hoax di internet, Saracen, diprediksi tidak akan menghentikan penyebaran hoax. Grup-grup seperti Saracen akan bermunculan, terutama menjelang pemilihan kepala daerah serentak 2018, dan pemilihan umum 2019.
Pengamat politik Arbi Sanit mengatakan, "Saracen ini alat politik." Salah satu tujuan grup-grup penyebar hoax adalah untuk memfitnah atau menjatuhkan calon presiden yang akan bertarung pada Pemilu 2019.
Arbi menambahkan, "Mungkin ini lawan politik Jokowi yang memainkannya. Saracen dan akun-akun sejenis harus diberantas untuk menghindari permainan politik."
Polisi menangkap tiga orang tiga orang pengelola Saracen, yakni JAS (32), MFT (43), dan SRN (32), di tiga lokasi berbeda, Rabu (23/8). Saracen memiliki 800.000 akun di media sosial untuk menyebarkan hoax dan konten-konten berisi ujaran kebencian.
Saracen menawarkan jasa kepada sejumlah klien, dengan tarif hingga puluhan juta rupiah.
Untuk mencegah penyebaran ujaran kebencian dan hoax perlu ada edukasi literasi kepada masyarakat luas, khususnya para imigran digital, menurut pengamat komunikasi digital Universitas Indonesia Firman Kurniawan.
Imigran digital yang dimaksud Firman adalah kelompok masyarakat yang lahir sebelum kemunculan era teknologi digital.
Firman mencontohkan, perkataan para 'imigran digital' kerap dianggap sebagai panutan dan sedikit banyak mampu menggiring opini publik.
Ketika kelompok imigran digital menuliskan atau membagikan sebuah hoax, ujar Firman, besar kemungkinan hal itu ditangkap oleh murid, mahasiswa, atau orang yang mengaguminya. "Itu akan lebih tersebar cepat."
Firman menambahkan, kebanyakan, kelompok imigran digital yang usianya senior berpendidikan tinggi sehingga hoax yang disebarkan akan mudah tersebar luas seperti virus. Untuk mencegah hoax, diperlukan kebijakan dan pemahaman etika dari masing-masing individu untuk tidak menyebarkan sesuatu yang tidak diyakini kebenarannya.
Firman mengatakan, "Sayangnya, seringkali pemahaman etika memang berbanding lurus dengan pendidikan. Semakin tinggi pendidikannya, orang semakin lebih berhati-hati."
Berbeda dengan generasi Y (kelahiran 1981-1995) atau generasi millenial (kelahiran 1995 ke atas) yang lahir ketika medium digital sudah berkembang pesat, atau justru telah menjadi teknologi komunikasi yang utama.
Ia mengatakan, "Bukan pada level berpendidikan rendah yang menjadi sasaran literasi, tapi mereka yang tidak terbiasa menuggunakan medium digital, yakni digital immigrants."