UNPI-CIANJUR.AC.ID - Konsumen Indonesia lebih mudah menerima konten online. Hal inilah yang menjadi alasan mudahnya berita bohong alias hoax mudah tersebar di Indonesia.
Tertulis dalam siaran pers Kantar TNS, "Di era 'berita bohong' [...] 61 persen konsumen Indonesia dengan senang hati mempercayai informasi yang mereka peroleh."
Angka tersebut didapat berdasarkan survei yang dilakukan Kantar TNS dalam riset Connected Life 2017.
Tingginya tingkat kepercayaan konsumen Indonesia dengan konten onlineini, berbanding terbalik dengan tingkat kepercayaan penduduk dunia. Dimana hanya satu dari tiga (35 persen) penduduk dunia yang menganggap konten yang mereka lihat dapat dipercaya.
Selain mudah percaya, konsumen Indonesia juga tak terlalu peduli dengan data pribadi mereka dan kemungkinan penyalahgunaannya.
Hanya 22 persen konsumen Indonesia yang peduli ketika brand meminta data pribadi. Padahal 43 persen konsumen global begitu kritis saat dimintai data pribadi. Sebanyak 59 persen konsumen Korea menyatakan segan berikan data pribadi.
Data pribadi juga bisa dikumpulkan lewat pemantauan pengguna lewat perangkat yang terhubung dengan internet. Misal lewat smartphone, jejak berinternet di peramban, hingga berbagai perangkat IoT.
Tapi, hanya 15 persen konsumen Indonesia yang peduli kalau perangkat itu bisa digunakan untuk mengoleksi data pribadi. Alasannya, kehadiran perangkat-perangkat ini membuat hidup mereka lebih mudah. Sementara lebih dari setengah konsumen Korea (56 persen) dan Hong Kong (54 persen) menolak perangkat tersebut digunakan untuk mengoleksi data pribadi mereka.
Dengan demikian, konsumen Indonesia dinilai belum menyadari adanya risiko dibalik dari gaya hidup serba terhubung ini. Padahal, konsumen di negara lain skeptis terhadap cara perusahaan menggunakan data pribadi mereka.